Breaking News

Rendahnya Kualitas Pendidikan di Provinsi Jambi


Oleh : M Rasyid*

Bentuk pendidikan yang berkualitas merupakan  harapan semua rakyat Indonesia.  Kemajuan Pendidikan suatu bangsa merupakan cerminan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan bukan hanya sebagai sarana perubahan bagi generasi muda sebagai generasi penerus, namun harus menjadi pusat transformasi nyata.

Biaya pendidikan yang besar dianggarkan dalam APBN, banyak dihabiskan untuk seminar, diskusi, pelatihan yang tidak menemukan kesimpulan. Para pakar dan pengamat pendidikan banyak menyoroti dan meliputi kualitas guru. Ketimpangan kualitas pendidikan terjadi antara provinsi, kabupaten/kota dan desa.

Fasilitas dan infrastruktur menjadi titik fokus tema diskusi.  Kurikulum yang berubah-ubah setiap lima tahun dan atau setiap pergantian pejabat menteri dan presiden, menjadi faktor pendukung dalam rendahnya kualitas pendidikan.

Sepertinya pendidikan di Indonesia sedang mencari identitas. Tenaga pendidikan menjadi sasaran empuk oleh penegak hukum dalam menjalankan tugas mendidik dan membentuk karakter bangsa terhadap peserta didik.

Sementara itu dari kementerian disibukkan dengan membuat istilah dan model-model serta mencontoh system pendidikan luar negeri, untuk menjadi model diterapkan di Indonesia. Pendidikan tanpa memikirkan bagaimana implementasi atau penerapan rencana-rencana yang disusun pada level guru, sebagai tenaga yang bersentuhan langsung dengan peserta didik.

Guru bukanlah robot AI (Artificial Intelligence) yang selalu siap menghadapi perubahan dogma dan dokrin Pendidikan. Guru juga manusia yang memiliki keterbatasan dalam menghadapi perubahan, baik perubahan model pendidikan dan perubahan perilaku siswa yang telah terbina dalam kehidupan keluarga dengan latar belakang beragam.

Provinsi Jambi adalah satu dari sekian banyak wilayah provinsi di Indonesia. Mirisnya, dalam bidang pendidikan menurut sebagian pengamat pendidikan, justru tidak menunjukkan kemajuan yang menonjol sejak lima tahun terakhir, apalagi di daerah kabupaten dan kota kondisinya sangat menyedohkan.

Sekolah tidak lagi memikirkan kualitas, tapi lebih pada kuantitas. Penyebabnya, adalah lagi-lagi masalah dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang dihitung berdasarkan  jumlah siswa. Maka yang terjadi dengan besarnya dana BOS, malah tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan, di semua tingkatan.

Disamping itu perlombaan, cerdas cermat, cerdas tangkas, olimpiade dan apapun namanya kegiatan ekstra dibidang pendidikan sudah langka, bahkan tidak pernah lagi kita dengar. Kita tidak pernah lagi mendengar pengumuman di upacara pada kantor gubernur atau bupati dan walikota, tentang pemenang dalam pendidikan  yang membuat banga orang tua, sekolah  dan daerah.

Pertanyaan kita terhadap rendahnya kualitas di Jambi, adalah ada apa dengan pendidikan kita di Jambi? Untuk menjawabnya sebenarnya ada di benak kita masing-masing baik itu para pejabat, para pakar, para pemerhati, dan para guru di sekolah. Permasalahan tersebut dapat kita lihat dan amati terdiri beberapa pokok masalah antaranya.

1.      Dana BOSP. Dana BOSP niatnya baik dan semua setuju, namun sampai di level sekolah menjadi perebutan untuk menghimpun sebanyak-banyaknya aliaran dana BOSP. Akibatnya penerimaan siswa tidak lagi mempertimbangkan jumlah kelas dan rasio guru dan siswa. Ruang kelas ukuran 8 x 9 menurut Undang-undang pendidikan di isi sebanyak 32 siswa di isi  40 sampai 45 siswa. Guru saja untuk mengontrol ke belakang kelas harus memiringkan badan. Rasio guru  dengan siswa tidak lagi ideal, efeknya guru mengajar hanya mengugurkan kewajiban saja. Guru tidak lagi bagaimana meikirkan kreativitas dalam pembelajaran, tidak lagi ada waktu untuk berpikir individu siswanya.

2.  Kualitas guru. Pendidikan guru di Perguruan Tinggi sekarang lebih menekankan pada kompetensi sepesialis ilmu sesuai jurusannya. Sementara bidang padagoginya  sangat kurang. Banyak kita temukan di sekolah guru hanya transper ilmu dan menekankan pada hapalan, padahal hapalan itu level pengetahuan paling rendah. Adapun guru yang berkualitas di sekolah waktunya tersita dengan administrasi pembelajaran. Pengawas sekolah datang mengawasi dengan hanya melihat kelengkapan administrasi guru dan sekali-kali supervise ke kelas, itupun tidak banyak memberikan perbaikan. RPP sebagai adimistrasi pembelajaran bukan sebagai pedoman dalam pengajaran di kelas.

3.    Kurikulum, Momok kutikulum ganti Menteri ganti kurikulum itu nyata, walau tidak berganti dengan alasan macam-macam hanya sebagai merevisi. Sejak awal reformasi hingga sekarang sudah berapa kali kurikulum diganti? Dari KBK berganti ke KTSP berganti lagi ke K13, dan terakhir Kurikulum Merdeka dengan model Deep Learning. Masing-masing kurikulum belum sempat di evaluasi kualitas lulusan sudah diganti.  Kurukulum penyebab banyak guru tidak tahu apa yang menjadi tujuan pembelajaran.

4. Sarana prasarana pendidikan cukup mendukung rendahnya kualitas pendidikan, kesenjangan digital dan akses internet di daerah menjadi kendala dalam mendukung kualitas pendidikan. Bahkan ada sekolah yang melarang siswanya membawa HP android ke sekolah. Padahal pemanfaatan teknologi tersebut dapat membantu guru dalam pembelajaran, kenapa dilarang? Kualitas sarana prasarana pendidikan di daerah satu diantara beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Jambi.

5.   Orang tua adalah pendidikan pertama bagi anak. hal ini sesuai dengan QS An Nahl : 78 "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur."  Ayat ini memberikan pemahaman bahwa begitu anak lahir langsung mendapat pendidikan dari orang tuanya melalu pendengaran, penglihatan, dan hati Nurani. Karena itu kenakalan anak mengambarkan kenakalan orang tuanya. Guru sebagai tenaga pendidik di sekolah menghadapi itu semua. Kualitas orang tua satu factor kualitas pendidikan.-

Penulis : *Seorang Guru.tinggal di Muara Bulian.

0 Komentar

IKLAN

Type and hit Enter to search

Close