Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M. AP
SAAT menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pernah menegaskan, bahwa pembangunan Indonesia harus dimulai dari desa. Pernyataan tersebut adalah, kalau desa bergerak, Indonesia pasti maju.
Hal ini
mencerminkan arah kebijakan pembangunan nasional yang berpihak kepada akar
rumput. Gagasan ini selaras dengan visi pembangunan yang tertuang dalam butir
ketiga Nawa Cita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Pernyataan
ini menegaskan, bahwa pembangunan desa bukanlah agenda pinggiran semata,
melainkan titik pangkal dari pembangunan nasional yang inklusif dan
berkeadilan. Pemahaman akan pentingnya pembangunan desa sebagai fondasi
nasional, juga tercermin dalam perhatian khusus terhadap penguatan ekonomi desa
melalui koperasi.
Pandangan
serupa pernah disampaikan oleh Teten Masduki, saat masih menjabat sebagai
Menteri Koperasi dan UKM sebelum digantikan oleh Budi Arie Setiadi. Ia
menekankan pentingnya peran koperasi dalam menopang ekonomi desa.
Koperasi
Merah Putih akan menjadi tulang punggung ekonomi rakyat di tingkat akar rumput.
Kita ingin koperasi hadir bukan hanya sebagai lembaga simpan pinjam, tetapi
juga sebagai penyedia kebutuhan pokok, layanan kesehatan, hingga distribusi logistik.
Penegasan
tersebut menjadi landasan kuat bagi pemerintah, untuk menginisiasi berbagai
program strategis yang fokus pada pengembangan ekonomi desa melalui
lembaga-lembaga seperti Koperasi Merah Putih dan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes).
Desa merupakan
unit terkecil dalam struktur pemerintahan, namun menyimpan potensi besar dalam
menggerakkan roda perekonomian nasional. Dalam beberapa tahun terakhir,
pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program strategis yang
ditujukan untuk menggerakkan ekonomi desa, antara lain melalui pendirian
Koperasi Merah Putih dan penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Kedua entitas
ini dirancang sebagai instrumen pembangunan ekonomi rakyat berbasis komunitas,
dengan tujuan besar membangun kemandirian desa secara menyeluruh dan
berkelanjutan.
Namun, agar
kebijakan ini berhasil, penting untuk melihat realitas di lapangan terkait
kondisi koperasi saat ini. Pemerintah telah menunjukkan keseriusan dengan
menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Strategi
Nasional Pembentukan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Inpres ini
menargetkan pembentukan koperasi yang tidak hanya berperan dalam menyediakan
sembako murah, layanan kesehatan, dan simpan pinjam, tetapi juga sebagai pusat
logistik, pengelola cold storage,
hingga penyedia layanan strategis lainnya. Tujuannya sangat jelas: memperkuat
swasembada pangan, mempercepat pemerataan ekonomi, dan menjadikan desa sebagai
pilar utama pembangunan menuju Indonesia Emas 2045.
Menurut data
Kementerian Koperasi dan UKM (2022), terdapat sekitar 127.000 koperasi yang
terdaftar di Indonesia, namun hanya sekitar 50% yang benar-benar aktif dan
beroperasi secara efektif. Fakta ini menegaskan pentingnya revitalisasi
koperasi melalui pendekatan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan, seperti
program Koperasi Merah Putih.
Selain
koperasi, BUMDes juga menjadi aktor penting dalam pembangunan ekonomi desa yang
memerlukan penguatan serupa. Penguatan BUMDes terus dilakukan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021, yang memberikan kerangka hukum lebih kuat dalam
pendirian, pengelolaan, hingga pengembangan BUMDes.
Sebagai badan
usaha milik desa, BUMDes diarahkan untuk mengelola potensi lokal secara
profesional dan berkontribusi pada peningkatan pendapatan asli desa serta
kesejahteraan masyarakat.
Hingga akhir
2022, data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
menunjukkan bahwa terdapat 74.691 BUMDes yang terdaftar, namun baru sekitar
7.902 BUMDes atau hanya sekitar 10% yang telah berbadan hukum. Hal ini menjadi
tantangan sekaligus peluang untuk terus mendorong legalisasi dan penguatan
kelembagaan BUMDes di seluruh wilayah.
Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi Statistik Potensi Desa 2024, Indonesia
memiliki 84.276 wilayah administratif terdiri dari 75.753 desa dan 8.486
kelurahan. Angka ini menunjukkan ruang yang sangat besar untuk membangun
ekosistem ekonomi berbasis desa melalui intervensi langsung dan program ekonomi
mikro yang inklusif.
Meski secara
kelembagaan berbeda, Koperasi Merah Putih dan BUMDes sejatinya dapat
bersinergi. Koperasi Merah Putih dapat fokus pada penguatan ekonomi warga,
melalui akses barang murah dan layanan dasar. Sedangkan BUMDes dapat mengelola
unit usaha berbasis aset desa, seperti pengelolaan air bersih, wisata desa,
pengelolaan pasar, hingga distribusi hasil panen petani. Jika dikoordinasikan
secara efektif, keduanya dapat menciptakan ekosistem ekonomi desa yang kuat dan
mandiri.
Contoh
keberhasilan sinergi koperasi dan BUMDes telah terlihat di berbagai daerah.
Desa Ponggok di Klaten, menunjukkan bagaimana kolaborasi BUMDes dan koperasi
dapat mengangkat potensi wisata air dan ekonomi kreatif masyarakat.
Kemudian di
Banyuwangi, koperasi desa dan BUMDes bekerja sama dalam membangun pasar digital
untuk memberdayakan petani lokal.
Sementara di
Provinsi Jambi, program Dumisake mendorong integrasi ekonomi desa melalui
kolaborasi antara koperasi dan BUMDes dalam pelayanan sosial-ekonomi
masyarakat. Rangkaian keberhasilan ini menjadi bukti bahwa sinergi koperasi dan
BUMDes bukan sekadar konsep, melainkan fondasi nyata yang dapat direplikasi dan
diperluas untuk memperkuat visi besar bangsa.
Dalam
kerangka menuju Indonesia Emas 2045, membangun desa bukan lagi sekadar pilihan,
melainkan sebuah keniscayaan. Koperasi Merah Putih dan BUMDes tidak hanya harus
dilihat sebagai strategi teknokratis, melainkan diposisikan sebagai dua pilar
utama dalam arsitektur ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada kekuatan akar
rumput.
Keduanya
hadir untuk menjawab kebutuhan nyata masyarakat, memperkuat daya tahan ekonomi
nasional dari desa hingga kota, serta menegaskan bahwa pembangunan sejati
dimulai dari bawah.
Keberhasilan
mereka tidak cukup diukur dari jumlah lembaga yang dibentuk, tetapi ditentukan
oleh kualitas tata kelola, sinergi lintas sektor, serta komitmen berkelanjutan
dari seluruh elemen bangsa. Ketika desa berdiri tegak dengan fondasi ekonomi
yang kokoh, Indonesia tidak hanya tumbuh, tetapi benar-benar maju, mandiri, dan
berdaulat dari akar hingga pucuknya.*
Penulis : Akademisi UIN STS Jambi.
0 Komentar