MediAmpera - Profesi wartawan memiliki standar etik dan independensi yang
harus dijaga. Namun, di berbagai daerah seluruh Indonesia masih ditemukan
individu yang merangkap sebagai jurnalis sekaligus pekerja Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Praktik ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mencederai
integritas profesi jurnalistik yang seharusnya bebas dari kepentingan orang
lain.
Fenomena
ini semakin terungkap ketika di lapangan, individu yang mengaku sebagai
wartawan juga membawa kartu identitas LSM. Mereka beralih peran sesuai situasi kadang
menjadi wartawan, kadang menjadi aktivisme. Hal ini berpotensi menimbulkan
konflik kepentingan, serta merusak kepercayaan terhadap dunia jurnalistik.
“Kode
etik profesi harus dijaga. Wartawan memiliki tanggung jawab besar dalam
menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang, sementara LSM bergerak dalam
advokasi dan kepentingan tertentu. Tidak boleh ada duplikasi peran, karena
wartawan yang juga bertindak sebagai aktivis akan kehilangan netralitasnya,” ujar
seorang pemerhati media, Jumat 14
Februari 2024.
Dewan Pers secara tegas melarang wartawan yang merangkap sebagai pekerja LSM. Ketua Komisi Pengaduan dan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, menegaskan bahwa wartawan harus menjalankan independensi penuh, tanpa terikat pada kepentingan advokasi atau agenda tertentu.
“Wartawan diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan tidak boleh bertindak sebagai pekerja LSM. Ini pelanggaran serius yang mencederai profesionalisme dan kepercayaan publik terhadap pers,” tegas Yadi Hendriana dalam pernyataannya kepada RRI pada September 2023 lalu.
Aturan
mengenai larangan ini telah tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor
1/Peraturan-DP/III/2010, tentang Standar Kompetensi Wartawan. Peraturan
tersebut menegaskan bahwa pers harus bebas dari kepentingan di luar kerja
jurnalistik. Mereka tidak boleh terlibat dalam aktivitas advokasi atau
menjalankan misi yang bertentangan dengan prinsip jurnalistik.
Maraknya
LSM yang mengaku sebagai wartawan, kini menjadi keresahan tersendiri di
kalangan jurnalis. Banyak wartawan profesional merasa profesi mereka dirusak
oleh oknum yang menyalahgunakan label “wartawan” untuk kepentingan pribadi atau
kelompok.
Anehnya ada yang menggunakan identitas pers untuk menekan pihak
tertentu, mengaku melakukan investigasi jurnalistik, padahal sejatinya mereka
berpartisipasi sebagai aktivis atau bahkan alat kepentingan tertentu.
“Ini
bukan sekedar fenomena, tapi sudah menjadi ancaman bagi kredibilitas manusia.
Banyak pihak yang dirugikan, mulai dari narasumber yang mendapat tekanan, hingga media yang citranya hancur
akibat ulah oknum tak bertanggung jawab,” kata seorang wartawan senior di satu
daerah yang enggan menyebutkan namanya.
Lebih parahnya lagi, beberapa kasus menunjukkan bahwa oknum LSM yang mengaku
wartawan sering kali melakukan intimidasi terhadap narasumber demi kepentingan
tertentu. Padahal, prinsip utama jurnalistik adalah verifikasi, keberimbangan,
dan objektivitas. Jika wartawan bertindak seperti aktivis, maka kepercayaan
masyarakat terhadap media akan terus menurun.
Untuk
mencegah semakin rusaknya profesi jurnalis, Dewan Pers mengimbau media untuk
memperketat pengawasan terhadap wartawan mereka. Wartawan sejati harus
menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan memastikan bahwa profesinya tidak
disalahgunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Jika tidak, maka
jurnalisme yang sejatinya menjadi pilar demokrasi justru akan dipandang sebelah
mata oleh masyarakat. ***
Berbagai sumber | Editor : MAS
0 Komentar